Judul : Wanita Bersabuk Dua
Pengarang : Sakti Wibowo
Penerbit : ERA
NOVIS
PT ERA ADICITRA INTERMEDIA
PT ERA ADICITRA INTERMEDIA
Tempat : Gg. Wuni III No. 2 Kleco,
Karangasem, Solo
Tahun
Terbit : 2002
Wanita Bersabuk Dua
Cut
Kaso adalah seorang wanita yang sudah tua renta dan sakit- sakitan. Dia tinggal
bersama Cut Intan. Cut Kaso adalah
seorang pejuang kaum muslimin yang dijajah oleh Belanda dan Inggris.
Penjajah memiliki tentara militer yang amatlah banyak.
Dahulu, Cut Kaso melawan penjajah dengan menggunakan senjata tradisional.
Sebenarnya, Cut Kaso ingin sekali ikut serta dalam melawan penjajah. Akan
tetapi, Cut Intan melarangnya karena tubuh Cut Kaso sudah tua renta, sakit-
sakitan dan matanyaudah sulit untuk melihat. Betapaa menyaesalnya Cut Kaso
tidak bisa ikut serta berperang melawan penjajah.
Cut
Intan didesak oleh ibunya untuk ikut bergabung dengan mujahid dan ikut pimpinan yang dipimpin oleh Teungku Chik
Di Tunong. Teungku Chik Di Tunong adalah seorang putra Ulee-balang Keureute,
sebuah egeri terkemuka di Aceh Utara. Ia meninggalkan segala kemewahan kerajaan
dan janji- janji kemegahan dari Belanda. Lantas menyusur hutan- hutan Pase
sembari menata serangan- serangan teratur di markas Belanda.
Hati
Cut Intan gelisah ketika dia hendak meninggalkan ibunya di medan perang. Cut
Kaso memberikan sebuah senjata tradisional rakyat Aceh, yaitu rencong kepada
Cut Intan. Rencong itu sudah berpuluh- puluh tahun digunakan sebagai senjata
untuk melawan penjajah.
Cut
Intan kembali mengayun lamgkahnya. Ia kini harus mengendap- ngendap di sela
rumpun belukar dan rapat pepohonan yang mulai membatas rimba nan sunyi. Di
situlah posisi paling rasional pencegatan terhadap pasukan pengangkut
perbekalan Belanda, seperti yang dikatakan ibundanya. Psaukan yang bergerak
dari Simpang ulim menuju Blang Ni. Pasukan ini dipimpin oleh Letnal FPA. Van
Gheel Geldemaster.
Intan
memeriksa sabuk pinggangnya, sebilah rencong terselip di balik baju panjangnya.
Ia memakai pakaian ringkas warna gelap yang dilengkapi kain yang dibelitkan
menutup wajah, menyisakan dua mata sayunya yang mengincar tajam ke kejauhan.
Dia bersiap untuk menyerang pasukan
Belanda dengan rencong ibunya. Dia dibesarkan dalam suasana peperangan, maka
dari itu dia sudah kebal dengan riuk pikuk peperangan.
Beberapa
menit kemudianm ia mendengar gemuruh yang disertai dengan lengking dan sorak-
sorai letupan senapan menebarkan bau mesiu, bunga- bunga api memercik ke udara
dari kejauhan. Ia menyibak belukar, segera berlari sembari menghunus rencongnya.
Pasukan Belanda terhimpit disamping truk- truk pengangkut barang. Puluhan
pejuang Aceh bergerak bagai singa luka. Dan di sisi lain, seorang berpakaian
gelap muemberi komando. Intan segera membaurkan diri dalam peperangan.
Sebelumnya,
Intan telah beberapa kali terlibat di dalam tanding maut di tepi- tepi kota
Pase. Intan adalah seorang tentara wanita di
kesatuan mata- mata. Bahkan, ibundanya tidak mengetahui hal tersebut.
Pasukan
Muslimin telah berada di atas angin. Intan menghempaskan tubuh musuh yang
terakhir ditikamnya tanpa tersisa. Rencong di tangannya telah berwarnakan merah
darah. Diedarkan pandangannya dan bersitatap dengan para mujahid yang menatap
kagum kepadanya. Akhirnya, Teungku mengetahui bahwa itu adalah Cut Intan,
putrid dari pejuang Cut Kaso.
Malam
mengelam. Intan terkatung di ujung tenda, berteman sang rembulan. Ia bertugas
jaga malam. Dengan beberapa penjelasan, akhirnya Teungku mengijinkan
mengizinkan bergabung dalam kesatuan gerilya. Akan tetapi, ia diminta agar
tetap berjaga- jaga di posisi sebelumnya.
Dia
melihat bayangan wanita berkulit putih kuning dengan paras jelita menatapnya di
biasan temaram langit. Itu adalah Cut Nya’ Meutia. Sebenarnya Cut Intan dendam
dengan dia, karena dia berkeluargakan
penghianat.
Letnan
PRD De. Kok gelisah, mueeka masih trauma atas penyerangan kemarin. Dekok telah
menyebar pasukan untuk mengetahui tempat persembunyian Teunku. Sudah tiga bilan
pencarian hanya sia- sia. Namun, tiba- tiba datanglah penduduk pribumi yang
meyakinkan Letnan dia mwmihak kepadanya. Ternyata, itu adalah trik yang
digunakan pejuang Aceh untuk memberantas penjajah.
Cut
Intan memerintahkan beberapa prajurit untuk menyamar sebagai nelayan di sungai.
Dari sisi tebing berluncuran sosok- sosok hitam berencong. Pasukan Belanda tidak
ada yang tersisa. Jasad Letnan dan pasukannya hanyut di sungai.
Kembali
keguncangan terjadidi tubuh tentara Belanda. HNA. Swart adalah seorang militer
Belanda yang haus akan kekuasaan. Seperti biasa, dia menerima tugas dengan
penuh kelicikan. Setibanya di Pase, dia mempelajari situasi dan peri keluarga
Chik Tunong. Dia membujuk Cut Nya’ Asiah bekerja sama dengannya. Cut Asiah
tidak mau.
Malam
yang dihiasi rembulan pucat itu terjaga. Seorang wanita muda bersimpuh ke tanah
dengan ratap sedih. Pipi yang berurai air mata itu adalah Cut Intan. Kerinduan
kepada ibunya merejam- rejam. Ia mendengar berita dari Teungku bahwa ibunya
telah tiada. Seketika itu dirasanya langit berputar. Petir seperti menyambar-
nyambar.
Dalam
siding bersama seluruh mujahid, disepakati Cut Muhammad mengikuti kemauan
Belanda untuk meletakkan senjata tetapi, dibalik itu, Teungku menjalankan
sebuah strategi perjuangan baru. Teungku akan tinggal di kota, sehingga beliau
leluasa menghimpun informasi dan mengusahakan suplai amunisi maupun logistic
bagi para pejuang gunung.
Markas
Belanda malam itu pecah keributan. Satu regu pasukan elit nberlari berkeliling
markas. Ada penyusup yang nekat masuk ke dalam markas.
Cut
Intan telah mengganti pakaiannya dengan pakaian petani yang bergerak tergesa
menyelinap di antara sekat- sekat penduduk sambil menggendong bakul yang berisi
sayur.
Tiba-
tiba sebuah pintu terkuak di depannya. Seorang lelaki melambai Intan. Dia
mencoba menyelamatkan Intan dengan mengakuinya sebagai anaknya.
Keesokan
harinya, sebuah mobil patrol yang dikendarai oleh sersan Vollaers berhenti di
depan rumah Teungku. Ketegangan mulai memuncak.
Beberapa
waktu setelah kejadian di rumah Teungku. Kewaspadaan pejuang semakin meningkat
dengan adanya in dikasi musuh mengetahui sepak terjang Teungku. Kurir- kurir
yang , masuk ke kota semakin dikurangi dan selektif dalam menghimpun berita.
Beberapa
hari terakhir terdengar kabar dari para pejuang, bahwa sikap diam Teungku tak
lagi banyak member keuntungan. Kini saatnya untuk kembali memulai gerilya, agar
Belanda tidak semakin besar kepala. Para pejuang gunung menyambut dengan
gembira. Tidak sabar rasanya kembali mengangkat senjata seperti waktu dulu.
Dari
dalam kota Teungku menginformasikan tentang serombongan marsose di bawah
pimpinan Sersan Vollaers yang tengah melakukan inspeksi. Mereka kini menginap
di meunasah di Meurandeh Paya. Pasukan pejuang aceh tidak tingggal diam.
Belanda
sangat marah dengan hal ini, mereka mengetahui bahwa Teungku membantu
menginformasikan hal- hal penting kepada para pejuang. Ditambah kematian
Vollaers. Teungku dipenjara dan diberi ancaman hukuman mati jika terbukti.
Pada
tanggal 25 Maret, Teungku chik Tunong dan Keujreun Buah digiring ke sula-
tepang, di tepian laut Lhokseumawe. Serentet peluru Belanda mempurnakan darma
bakti keduannya, mewangi kasturi, membasah bumi pertiwi.
Pasukan
Mosselman mengepung perkemahan pasukan Cut nya’ Meutia yang tengah menyusun
kekuatan itu.
Pertempuran
kembali pecah dalam sekejap mata. Peluru berseliweran mencari sasaran. Beberapa
yang lengah terkulai roboh, menbebam ke debu tanah. Cut Nya’ Meutia mengatur
pasukannya. Ia terus brgerak dengan lincah membabat musuh yang mencoba
mendekat.
Intan
menyaksikan dengan dada menggemuruh. Betapa setianya pejuang- pejuang kepada
pemimpinnya. Berani melindungi pemimpinnya tanpa mempedulikan dirinya sendiri.
Melihat
formasi musuh yang begitu ketat mengapung, seperti tak ada kemungkinan untuk
lari. Peluru celah menepis. Beberapa pejuang yang kehabisan peluru melempartkan
senapannya dan menghambur masuk ke area menantang perang jarak pendek. Namun,
banyak dari mereka yang segera dijemput peluru, kemudian terkapar luruh ke
tanah.
Intan
hendak menbaskan rencongnya pada marsose yang kesekian. Ketika itu, dilihatnya
laras senapan teracung hendak melontarkan pelurunya ka arah Meutia. Ia angsung
menghampur ke arah Meutia. Di antara derap rasa kagum dan kecintaannya pada
wanita perkasa itu, menjelma kekuatan yang tak olah- olah bandingnya.
Lompatannya secepat angin dan mendahului laju peluru yang hendak mencapai tubuh
Meutia.
Perih
di dadanya, ia tak kuasa menahan genggaman rencongnya. Terpana Meutia mendapati
tubuh intan menggeleso dalam pelukannya. Sebelum tubuh itu luruh, ia
menggapainya segera.
Intan
tak kuasa berbicara. Di hadapannya membentang keindahan yang tidak terkata.
Kebahagiaan yang luar biasa menyemai di dadanya. Darah terus mengalir. Intan
mencoba tersenyum kepada Meutia. Meutia mengakui jika Intan yang memenangkan
peperangan ini.
Peperangan
di Gunong Lipeh itu terjadi pada 25 Oktober 1910. Cut Nya’ Meutia gugur dalam
peperangan itu setelah sebuah peluru menembus kepalanya. Begitupun dengan Datuk
Sepuot Mata yang syahid dalam peperangan hari itu. Keduanya dimakamkan di
Gunong Lipeh.
Peperangan
masih terus berlanjut sepeninggal Cut Nya’ Meutia. Darah perjuangan seperti itu
tidak brhenti mengalir di tanah rencong, hingga tidak mendiamkan satu pun pihak
yang hendak menjerajah “izzatul ummah”.
Darah
pembelaan yang terus mengalir sepanjang masa.
0 komentar:
Posting Komentar