Meriahnya bunyi klakson disiang bolong sudah menjadi
rutinitas di jantung ibukota. Hiruk pikuknya yang penat malah menarik berbagai
macam manusia untuk datang berlomba untuk mengeruk rupiah. Inilah kota jakarta.
Seirama dengan perkembangan industri yang pesat,
jakarta juga sarat dengan dunia remaja yang glamor. Fenomena kenalakan remaja
merajalela, salah satunya di SMA 71 jakarta.
Michel
: (Menyodorkan sebatang rokok)
“Mau nggak?”
Mentari
: “Kagak.”
Michel : “Masak roko aja gak
berani? Katanya mau jadi anak gaul Jakarta? Katanya gak mau cupu lagi? Cobain!
Mentari
: “Preketek. . . kalo maksa ada
aja alasannya.” (Mengambil rokok)
Michel
: “Nah loh, mau tapi malu.
Hari ini kagak ada guru, bolos aja yuk. . . “
Riko
: (Datang menghampiri)
“Hi sob. . bagi rokok dong.”
Michel
: “Muka lu kucel amat?”
(Memberikan rokok)
Riko
: “Diputusin,”
Michel
: “Halah. . . muke lu. .
bukannya masih ada yang lain?”
Riko
: “Barusan cewek gua yang
terakhir. . udah abis, cariin dong chel.”
Michel
: “Sana sama nenek-nenek
penjaga kantin.”
Riko
: “Serius gue!”
Michel
: “Okey. . okey. . ini gue
kenalin langsung.”
(Menepuk pundak Mentari)
Riko
: (Terpesona)
“Hi, gue Maikel.”
Mentari
: (Tersenyum)
“Mentari.”
Michel
: (Menepuk pundak Riko)
“Maikel apaan? Azmi co’e.”
Riko
: “Heh! Iki drama lhoh.”
Michel
: “Hhehehe. . Namanya Riko
tar, bukan Maikel.”
Mentari
: “Ooowh. . Riko ya. . ?”
Riko
: “ Mau gak jadi pacar gue?
Punya pacar gak lu?”
Michel : “Bener tuh, Riko bisa ngajarin elo jadi cewek gaul.
Biar lo gak cupu lagi.”
Mentari
: “Hah? Pacaran?”
Riko : “Iya. Ya udah sekarang kita jadian. Ikut gue, tak
beliin coklat biar romantis. Hheheh.”
(Menarik mentari pergi)
Michel
: “Hey, traktir gue lho jangan
lupa!”
(Mengikuti Mentari dan Riko)
SCENE
II
Mama
: (Membenarkan kerah baju Om
Subagyo)
“Nah gitu ganteng, pah.”
Om
Subagyo : “Kamu memang istri idaman.”
Mama
: “Tapi sayangnya aku cuma
selingkuhanmu.”
Om
Subagyo : “Maafin aku, aku belum bisa
sekarang. Kamu tahu istriku masih sakit.”
Mama
: “Ehm. . gimana keadaannya
sekarang?”
Om
Subagyo : “Dia harus menjalani operasi
pencangkokan ginjal baru.”
Mama
: “Udah dapet?”
Om
Subagyo : “Belum. . .”
Mama
: “Kalau aku mau donorin ginjalku, kamu mau bayar berapa?”
Om Subagyo : “Hus! Jangan bercanda! Aku memang akan
membayar 500 juta untuk pendonor nanti, tapi jangan kamu, operasi ini terlalu
berbahaya.”
Mama
: “Nyawa istrimu jauh lebih
berharga daripada nyawaku.”
Om
Subagyo : “Jangan ngomong gitu! Aku
saying kamu.”
Mentari
: (Tiba-tiba datang)
“Ehem!”
Mama
: “Eh, udah pulang sayang?
Sore banget? Dariaman aja?”
Mentari
: “Minta duit mah.”
Mama
: “Jawab dulu, darimana
kamu?”
Mentari
: “Sekolahan, duit mana?”
Om
Subagyo : “Itu temennya kok gak diajak masuk?”
Mentari
: “Sapa yang ngomong ama elo?”
(Ketus)
Mama
: “Enggak boleh gitu dong.
Kamu pulang sama siapa?”
(Melihat keluar rumah)
Mentari
: “Sama Riko. Mana duit mah?
Cepetan. . “
Mama
: “Sejak kapan kamu pacaran?
Emang mama ngebolehin kamu pacaran?”
Mentari : “Ih mama, mentari kan udah gede.
Jaman sekarang pacaran udah wajar kali mah.”
Mama : “Semenjak bergaul dengan teman baru itu,
kamu menjadi pembangkang. Berani sama mama.”
Om
Subagyo : “Sudah, , sudah. . Ini buat
kamu.”
(Memberikan
dua lembar seratus ribuan kepada Mentari)
Mentari
: (Menyambar uang tersebut)
Om
Subagyo : “Jangan malem-malem
pulangnya.”
Mentari : “Eh, gak usah nglunjak berani nasehati, gue Cuma butuh
duitu lo, bukan perhatian lo.
(Keluar rumah)
Mama
: “Nggak usah pulang aja
sekalian.”
Mentari
: “Emang! Enek mentari lihat
pacar mama itu!”
(Sambil pergi meninggalkan mereka)
Mama
: “Lihat kelakuannya
sekarang, mas.”
(Sambil menangis)
Om
Subagyo : “Selama aku bisa, seberapapun
kamu butuh uang, aku akan kasih.”
Mama : “Kayaknya aku mau jual ginjalku buat istri
kamu, tapi tolong jangan bilang mentari ya.”
Om
Subagyo : “Pikirkan dulu baik-baik.
Sudah ya aku pulang dulu.”
Mama
: (Mengangguk, mencium tangan
Om Subagyo)
SCENE
III
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tetapi Mentari
belum juga pulang ke rumah. Dia pergi bersama Riko ke kostan Michel.
Riko
: “Mana katanya mau ngasih
gratisan?”
Michel
: “Nih.”
Riko
: “Thanks, sayang.”
(Sambil menggosok-gosok kepala Michel)
Mentari
: “Itu apa?”
Michel
: “Cobain dech, enak kok!”
Riko
: “Iya say, enak kok.”
(Menyodorkan narkoba ke Mentari)
Mentari
: (Mencoba narkoba itu)
Michel : “Tar, mama elo baik banget sama elo? Kenapa
elo gak minta dibeliin mobil aja sekalian?”
Mentari : “Enggak lah, gak tega. Mama itu Cuma guru honorer. Mama
rela jadi istri simpenan biar hidup kita ada yang nanggung.”
Michel
: “Kenapa gak mati aja lo
berdua, biar gak nyusahin orang.”
Mentari
: “Gue pengen mati tapi mama
gue jangan.”
Michel
: “Apa gak ketuker tuh?
Kasihan kan istri sahnya bokap angkat lo itu. . “
Mentari
: “Dia bukan bokap gue! Jaga
mulut lo! Selamanya bukan !
Michel
: “Baguslah kalo elo sadar
diri.”
Michel
: “By the way, lo pacaran udah
ngapai aja?”
Mentari
: “Tadi siang gue ama dia makan
siang romantis.”
Michel
: “Hahaha. . Romantis apaan?
Norak banget tau!”
Mentari
: “Biar gak norak gimana?”
Michel
: “Sini gue bisikin.”
(Mentari
dan Michel berbisik-bisik)
Mentari
: “Astaghfirullah hal’adzim.”
Michel
: “Berani gak?”
Mentari
: (Bengong)
“Nggak ah gila apa?”
Michel
: “Riko kayaknya okey okey
aja.”
Riko
: “Apaan sich?”
Michel
: Itu tu!
(Sambil mengedipkan mata)
Riko
: “Oh. . Ayo. . !”
Mentari
: “Ogah ah!”
Riko
: (Menarik tangan Mentari)
Michel
: “Gue pergi dulu ya. . .!
(Pergi meninggalkan mereka berdua)
(Setelah
beberapa menit, riko dan Mentari keluar)
Mama
: “Tar! Ngapain kamu?”
Mentari
: (Kaget)
“Mama?”
Mama
: (Menampar Mentari)
Mentari
: (Jatuh terpuruk)
“Mama!”
Mama
: “Kapan kamu berubah? Tanbah
gede tambah kacau.”
Riko
: (Pergi meninggalkan
mereka)
Mentari
: “Iya ma, kalau udah 17 tahun
aku akan berubah kok.”
Mama
: “Iya, mama pegang janjimu!”
Mama
: (Pulang meninggalkan
Mentari)
“Pulang kamu sekarang!”
Mentari
: “Hmmm.”
(Mengikuti mamanya pulang)
SCENE
IV
Matahari mulai menyuguhkan kehangatannya di minggu
yang cerah. Secerah wajah Mentari yang membayangkan punya mobil baru. Ternyata
Michel berhasil mempengaruhi Mentari untuk meminta mamanya agar membelikannya
mobil baru.
Mentari
: “Pagi mah.”
Mama : “Iya pagi.”
(Menyiapkan sarapan)
Mentari
: “Mah, yang tadi malem maafin
mentari ya.”
Mama : “Pokoknya kamu sudah janji akan berubah
diusia kamu yang ke 17 tahun. Bulan depan ulang tahun kamu yang ke 17 lho. .!”
Mentari
: “Tapi beliin Mentari mobil
baru.”
Mama
: “Mobil? Uang dari mana
mama?”
Mentari : “Ya Mentari gak mau tahu. Mentari mau nurutin mama,
tapi mama harus nurutin Mentari juga dong.”
Mama
: “Permintaan kamu enggak
lihat kondisi.”
Mentari
: “Enggak, pokoknya Mentari
minta mobil Yaris lho mah.”
Mama
: “Maafin ma. . .”
Mentari
: “Pokoknya kalo mama gak bisa
nepati janji mama, Mentari juga gak nepati janji Mentari.”
Mama
: (Diam)
Mentari
: “Mah!”
Mama
: “Iya. . Iya. . Mama
usahakan.”
Mentari
: “Ya udah ya mah, Mentari
pergi dulu.”
(Mencium
tangan mamanya terus langsung pergi)
Mama
: “Hati-hati, jangan
pacaran!”
Mentari
: “Yaris dulu dong.”
Mama
: (Mengelap tangan lalu
mengambil HP dari sakunya)
“Mas Bagyo, bisa jemput aku sekarang? Aku mau ngomong
sama kamu.”
(Meletakkan
HP lalu menarih piring ke tempatnya)
Om
Subagyo : (Datang)
“Kenapa
sayang? Ada yang penting bangat ya?”
Mama
: “Aku butuh uang mas, aku
mau donorin ginjalku buat istri kamu.”
Om
subagyo : “Sudah dipikirkan baik-baik?”
Mama
: “Iya.”
Om Subagyo : “Ya sudah lah kita ke rumah sakit sekarang, buat menuhi prosedur
sebelum operasi.”
(Mengajak mama ke rumah sakit)
Mama
: (Mengikuti Om Subagyo)
(Di
rumah sakit)
Dokter
: “Selamat siang.”
(Tersenyum
dan menyalami Om subagyo dan Mama)
Om subagyo : “Begini lho dok, saya sudah menemukan calon donor ginjal untuk
istri saya.”
Dokter : “Oh, Ibu berani untuk mendonorkan ginjal ibu?
Resikonya besar lho bu. Bagaimana?”
Mama : “Iya dok, saya berani.”
Dokter : “Ya sudah kalau niat Ibu sudah bulat tolong tanda
tangan surat ini.”
(Sambil
menyodorkan surat)
Mama : (Menandatangani surat itu)
Dokter : “Untuk menghindari kemungkinan terburuk, maka kami
harus melakukan prosedur pra operasi lebih cepat. Ibu harus mengikuti serangkaian
tes agar dapat mengetahui apakah ginjal Ibu dapat didonorkan atau tidak.”
Mama : “Baik dok, saya siap.”
Dokter : “Ibu juga harus istirahat total. Jika kondisi fisik
atau emosi Ibu mengalami tekanan, resiko pendarahan ketika operasi akan sangat
berbahaya.”
Om subagyo : “Tenang saja dok, saya akan menjaganya.”
Dokter : “Baiklah kalau begitu, mohon ditunggu di ruang
Radiologi.”
Om Subagyo : “Baiklah dok, kami permisi.”
(Keluar
ruangan bersama mama)
SCENE V
Hampir sebulan berlalu, tentunya tanpa sepengetahuan
Mentari, mamanya bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani prosedur. Tentu
saja hal tersebut membuat Mentari curiga. Mamanya semakin sering keluar rumah.
Mama
: (Berjalan sambil menenteng
tas hendak pergi ke rumah sakit)
Mentari
: “Pergi sama Om Bagyo lagi?
Kenapa sekalian ga usah pulang aja?”
Mama
: (Berhenti, menatap Mentari)
Mentari
: “Yaris jangan lupa lho!”
(Nyengir)
Mama
: “Jangan lupa janji kamu,
jangan lupa! Mama pergi dulu.”
(Berjalan meninggalkan Mentari)
Mentari : “Mama kok lupa sich, ngucapin selamat aja enggak.
Padahal ini hari ulang tahunku.”
Setelah mamanya pergi, Mentari langsung masuk
kamarnya.
Mentari
: (Mengeluarkan HP dari sakunya
dan menelpon Riko)
“Riko
maaf ko, gue. . . Kemarin gue ke dokter,
ternyata gue ha. . gue hamil ko.”
(Riko mematikan telepon)
Mentari
: “Ko, Riko?”
(Nangis)
Michel
: (Tiba-tiba datang)
“Happy birthday Tari!”
Mentari
: (Masih menangis)
Michel
: “Tar, elo kenapa?”
Mentari : “Elo tau? Gue hamil chel. . . Dan Riko ngilang! Hidup
gue bakalan ancur! Mama tiap hari pergi sama om-om itu, nggak ada yang peduli
sama gue lagi.”
Michel
: “Tenang masih ada ague kok,
Riko asti tanggung jawab.”
Riko
: (Tiba-tiba datang dengan
membawa sesuatu)
Mentari
: “Riko?”
Riko
: “Tari?”
(Slow motion)
Michel
: “Tu kan dia dateng.”
Mentari
: “Aku kira kamu bakal
ninggalin aku, ko.”
Riko
: “Enggak akan, tar.”
Michel : “Udah-udah, romantisnya nanti lagi. Sekarang kita
rayain dulu ulang tahun elo, tar.ini gue bawa banyak barang-barang.”
(Mengeluarkan beberapa kokain)
Mentari
: “Sip. . . Mantap lo chel.”
Michel
: (Membagi kokain yang
dibawanya)
Riko
: “Ini tar, obat peluruh
dari dokter yang bias bikin lo gak hamil lagi.”
Mentari
: “Beneran?”
Riko
: “Minum, tar.”
(Menyodorkan minuman)
Mentari
: (Langsung meminumnya)
Mama
: (Masuk rumah dan melihat
Mentari dan teman-temannya pesta narkoba)
Mentari
: “Mah?”
Mama
: (Menangis)
“Ini yang kamu bilang tepati janji? Mama sudah
melakukan apa saja untuk memenuhi janji mama, tapi apa yang kamu lakukan?”
Mentari
: “Mah. . . “
Mama
: “Mama kecewa, kecewa sama
kamu.”
(Pergi
meninggalkan Mentari)
Mentari
: “Mah. . .”
(Berusaha mengejar mamanya tapi terjatuh dan
batuk-batuk)
Michel
: “Tar, lo gak apa-apa?”
(Mengambilkan tissue untuk Tari)
Riko
: “Elo batuk darah, tar.
Kita ke rumah sakit sekarang.”
Mentari
: (Mencoba berbicara tapi tidak
bisa)
SCENE
VI
Di
rumah sakit pukul 12.45 Mentari sadar dari pingsannya.
Mentari
: “Mama. . Mama mana? Suaraku
kenapa?”
(Menangis)
Dokter
: “Sudah kamu istirahat dulu
saja.”
Riko
: (Menarik dokter)
“Kenapa dengan suara mentari dok?”
Dokter : “Pita suaranya rusak, akibat obat peluruh yang kamu
berikan bereaksi dengan narkoba.”
Riko
: “Hah?”
(Menyesal)
Michel
: (Datang)
“Kenapa ko?”
Dokter
: “Pita suaranya rusak
permanen.”
Michel
: “Hah?”
Om
Subagyo : (Datang)
“Ya ampun Mentari. . Kenapa kamu bias di sini? Om
mencarimu kemana-mana.”
Mentari
: “Mam. . . a.”
Om
Subagyo : (Melihat Michel)
“Loh
Michel?”
Michel : “Apa pah? Kaget? Michel udah tahu semuanya, papa
selingkuh dengan mamanya Mentari kn?”
Riko
: “Lho? Chel. . Jadi Om
Subagyo itu papamu?”
Michel : “Iya, elo tahu ko? Betapa sakitnya guewaktu tau papa
selingkung disaat mama sakit keras! Dan kamu tau? Gue yang sudah merencanakan
semua ini. Gue dendam sama mamanya mentari. Gue sengaja ngrusak mentari buat
bikin mamanya terluka. Sama, lebih sakit dari apa yang mama gue rasakan.”
Riko
: “Jadi elo sengaja ngrusak
Tari?”
Michel
: “Iya, gue benci! Gue benci
elo, tar!
Om
Subagyo : (Menampar Michel)
“Cukup! Kamu tahu apa yang telah kamu perbuat? Mama
Tari meninggal saat operasi, dia mengalami pendarahan hebat karena tekanan
emosi.”
Michel
: “Bagus deng, masih lebih
baik daripada nyusahin orang lain.”
Riko
: “Mama Tari operasi apa?
Tadi siang masih sehat-sehat aja?”
Om
Subagyo : “Dia mentransplantsikan
ginjalnya untuk mamamu, chel.”
Michel
: “Apa? Jadi, mama? Mama
gimana?”
Om Subagyo : “Mama kamu juga meninggal karenagak ada lagi ginjal yang bias
dicangkokkan untuk menolong mamamu.”
Mentari
: (Bangkit dan histeris)
“Mam. . .a. . . men. . . inggal. . . om? Mam. . . .
a . . dim. .ana. . om?
(Mereka
berjalan menuju ruang jenazah)
Dokter : “Maaf kami sudah berusaha, pasien ini meninggal sesaat
sebelum sadarkan diri, mentari.”
Mentari
: (Menangis dan meminta maaf
dengan susah payah)
“Mah, maafin Tari, Mentari tidak menepati janji.
Kenapa mama tinggalin Tari? Tari sekarang tidak bias berbicara, ma.”
Om
Subagyo dan Riko : (Diam)
Michel
: (Menepuk bahu Tari)
“Maafin gue. . gue gak pantes dapat maaf. Tapi gue
nyesel, gue bener-bener nyesel. Gue udah ngrusak hidup lo. Gue udah bikin mama
gue sendiri meninggal.”
Dokter
: “Jangan menyalahkan. Ini
semua sudah takdir Tuhan.”
Semua yang akan terjadi nanti tidak
ada yang pernah tahu. Hanyalah penyesalan yang didapatkan Mentari dan Michel.
Mentaru tak akan bisa lagi berbicara dan tidak ada lagi kesempatan untuk
meminta maaf. Janji yang sudah ia buat, ia ingkari sendiri. Dan Michel, ia
telah merusak sahabatnya, juga telah membiarkan mamanya sendiri meninggal.
0 komentar:
Posting Komentar